Me Vs Maya

Me Vs Maya
my novel

emak lebay

emak lebay
curhat emak duoNa

Jurnal Sehat Emak

Jurnal Sehat Emak
Diet Sehat Ala Emak

Kamis, 30 Juli 2015

Kuberanikan Diri Untuk Melangkah

Dia bernama Linda, usianya satu tahun di bawah saya, dan tinggal di negeri tetangga bersama lima anaknya.  Sudah sepuluh tahun dia bercerai dari suaminya yang warga negara sana, dia sendiri bertahan di negeri itu dengan status warga negara asing demi anak-anaknya.

"Anak-anakku di sini terjamin, minimal pendidikan dan kesehatannya, karena mereka warga negara sini, say," Kata Linda mengawali ceritanya, ketika kubertanya, kenapa dia tidak kembali ke Indonesia dan memulai hidup di negeri kami ini.

Dua dari lima anaknya adalah ABK (Anak berkebutuhan Khusus).  yang laki-laki, Ahmad, dengan dyslexia, ADHD, juga autis.  Yang Zahra juga ADHD dan juga PICA.

"Di sini, ABK macam Ahmad dan Zahra dapat banyak kemudahan, say.  Jadi membantu banget buat aku dalam mengasuh mereka," ceritanya lagi.

Aku trenyuh mendengarnya.  Mengasuh lima anak, dua diantaranya ABK, dua lagi sudah pra remaja, dan yang bungsu masih balita yang tentu perlu perhatian maksimal, dan dia tetap bisa segar bugar.  Hebat ya?

"Saya dan abahnya anak-anak beda lima belas tahun.  Dibayanganku saat itu, dia pasti bisa ngemong dan melindungi aku.  Bisa jadi guru dan imam yang baik buat aku yang lebih banyak bersikap hedonis ketimbang mendekatkan diri sama Allaah," katanya kemudian.

"Itu kenapa, meski baru berkenalan dua hari, kamu mau saja dilamar olehnya?" tanyaku mengorek lebih dalam.

Aku saja yang baru delapan bulan kenal dan langsung menikah dengan ayahnya anak-anak, orang-orang suka takjub dan nggak yakin, apalagi Linda ya?  Dua hari berkenalan dan langsung mau menikah dengan laki-laki dari negara lain, dan belum kenal sama sekali dengan latara belakangnya.

"Nekad," cetusku.

"Bisa dibilang, dia tiketku untuk keluar dari masalahku yang lain," sergahnya, kemudian tertawa seraya matanya menerawang jauh.  Mungkin mengingat kembali awal dia bertemu dengan mantan suaminya.

"Lalu kenapa bercerai?" tanyaku penasaran. 

"Biasa, KDRT," jawabnya singkat.

"Seberapa sering?" tanyaku, untuk menutupi rasa kagetku.

"Setiap waktu kapan dia bisa dan ada alasan dari sikapku untuk dia menghajarku," suaranya terbata-bata, mungkin mengingat persitiwa sepuluh tahun yang lalu.

"Lah, bisa hampir setiap hari dong?" kali ini aku tidak dapat menutupi keterkejutanku.

Linda tertawa tanpa suara.  Diminumnya cofe latte pesanan dia, aku sendiri cuma mengaduk2 cappucino pesananku tadi.

Saat ini kami berdua sedang di sebuah kafe penyedia kopi terenak di negeri ini, Aku sedang transit menuju Seoul, ke tempat kerjaku yang baru.  Kusempatkan janjian dengan Linda terlebih dahulu, setelah sekian tahun kami hanya ngobrol via FB, BBM ataupun WA.

"Bukan hampir setiap hari, dalam sehari bisa sampai 3x dia menghajarku karena alasan-alasan sepele," katanya pada akhirnya.

"Hah?  Masalah apa saja?"

"Aku terlambat meletakkan nasi di meja makan, dia bisa ngamuk.  Aku salah melipat selimutnya, dihajar juga.  Waktu Ahmad diketahui autis, dia langsung keluar dari rumah.  Kembali bukannya tenang, aku dihajarnya karena dianggap bawa sial," kata Linda, merinci setiap adegan berbahaya yang ada di rumahnya.

Aku menghela napas.

Teringat ayahnya anak-anak.  Dia memang tidak pernah marah kalau aku terlambat menyajikan makan siang, misalnya.  Yang dilakukan ayahnya anak-anak adalah pergi dan kemudian mengabaikanku.

Mana yang lebih baik?  Tidak ada menurutku.  Tetap saja, bukan seperti itu memperlakukan perempuan, seharusnya.

"Sejak kapan kamu tahu dia suka KDRT?"

"Sejak awal menikah," jawabnya pelan.

"What?" teriakku kaget.

Seisi kafe menoleh kepada kami, akupun bergegas meminta maaf ke semua pengunjung dengan menganggukkan kepala berkali-kali kepada mereka sambil merapatkan kedua telapak tangan di dadaku, meminta maaf dengan isyarat.

"Memang saat itu kamu diapain?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Aku ditampar keras karena dianggap teledor sehingga acces card hotel ketinggalan di mobil, padahal saat itu kami sudah di depan kamar hotel," jawabnya.

"Begitu saja sudah ditampar keras?" tanyaku tak percaya.

Linda mengangguk tanpa suara.

"Sejak saat itu, aku takut, ragu-ragu untuk meneruskan pernikahan itu.  Juga aku malu, masak baru sehari menikah sudah minta cerai," ceritanya lagi, melanjutkan yang lalu.

"Kamu berharap itu cuma khilaf?" tanyaku menyelidiki.

"Terus terang, Ya."

Aku menghela napas.  Khas perempuan, berharap besok baik-baik saja meskipun hari ini sudah dihajar oleh suaminya.

Termasuk diriku.

"Kapan kamu menyadari bahwa suamimu seorang maniak dan tidak bisa lagi ditolerir?" tanyaku lagi.

"Sejak kami tahu Ahmad ABK," jawabnya.

"Dia tidak terima dengan keadaan itu, Ahmad hampir dibantingnya.  Aku jelas tidak terima.  Sejak saat itu aku menyusun kekuatan, diam-diam bikin strategi untuk bisa kabur dan sembunyi dari dia," lanjutnya dengan pandangan menerawang.

Kemudian Linda tersenyum kepadaku.

"Itu kenapa aku bilang, I heart you banget saat kamu bilang sedang proses cerai dengan suamimu itu.  rasanya memang luar biasa, tetapi yakin lah, kalau kamu yakin lebih baik begini, Allah tidak akan meninggalkanmu," katanya memberiku kekuatan.

Aku termangu, mengingat semua apa yang terjadi pada diriku, dan apa yang sudah Linda ceritakan kepadaku.

Aku tahu, cerita Linda masih panjang.  Dia harus berjuang di negeri ini dengan mengasuh kelima anaknya tanpa bantuan biaya sedikitpun dari mantan suaminya.  Belum lagi dia harus tetap berdiri untuk jadi benteng bagi kedua anaknya yang ABK.

Bagiku Linda luar biasa.  Tak cukup kalau aku hanya mengatakan La tahzan, sista, Allah bersama kita.  Karena dia tentu justru sudah bisa berdiri dan bangkit lagi.

Linda tidak perlu dikuatkan karena sudah sepuluh tahun dia menjalaninya dan semua baik-baik saja untuk hidupnya dan hidup anak-anaknya.

Mungkin justru cerita Linda menginspirasiku untuk bisa melalui semua proses perceraianku dengan baik.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar