Me Vs Maya

Me Vs Maya
my novel

emak lebay

emak lebay
curhat emak duoNa

Jurnal Sehat Emak

Jurnal Sehat Emak
Diet Sehat Ala Emak

Selasa, 28 Juli 2015

Orang Ketiga Itu Membuat Suamiku Berubah

Aku dan anak-anak biasa memanggilnya Umi.  Usianya jauh di bawah saya, usia pernikahannya pun baru dalam hitungan jari.  Tetapi cobaan rumah tangganya luar biasa, dia harus menguras energi dan jiwanya untuk menyelamatkan rumah tangganya yang sedang di ujung tanduk.

Kami dekat karena anak-anak kami dekat, jadi anak-anaklah yang membuat kami menjadi sahabat.  Anaknya, Mia, memanggilku Bunda, sedang Naomi dan Nadhira biasa memanggilnya Umi.  Kami saling mengunjungi, bahkan anak-anak terbiasa saling kami titipkan kalau masing-masing dari kami sedang ada kesibukan dan harus meninggalkan mereka agak lama.

Tadinya kami hanya sharing kebahagiaan dan kesenangan, sampai suatu ketika, Umi mungkin merasa bebannya bertambah berat, diapun bercerita kepadaku.  Saat itu anak-anak sedang asyik menonton televisi di kamar Mia.

"Bun, menurutmu susah gak sih LDR?" tanyanya pelan.

Pertanyaannya membuatku tersentak.  Bukan apa-apa, saya pun saat itu sedang LDR dan ada masalah rumah tangga yang belum kushare ke banyak pihak karena masih berharap benang kusut ini segera bisa diselesaikan.

Kemudian aku juga teringat, dia pun sedang LDR dengan suaminya, dengan lokai yang lebih jauh dan jadwal pulang yang tidak tentu.

"Yaaa jujur sih, susah susah gampang.  Terutama masalah komunikasi, suka salah pengertian kalau bicara cuma lewat telepon.  Ada apa, sih?"

"Kamu tahu kan, Bun, aku saat ini LDR."

"Iya, tapi kan suamimu seminggu sekali pulang, lebih dekat lagi."

"Enggak, Bun.  Dia kembali ke Makassar," jawabnya.  Seingatku, suaminya sudah bekerja di kota Sragen yang jarak tempuhnya lebih dekat dari kota kami.

"Oh, lah kog balik jauh lagi?  Walah, kenapa?"

Kemudian mengalirlah cerita, yang lagi-lagi membuatku kaget.

"Di Sragen dia malah selingkuh, Bun," jawabnya pelan.

"Lho?  Kog bisa?"

Yeah I know, itu pertanyaan tolol.  Selingkuh itu bukan masalah tempat dan waktu, bukan masalah saling berdekatan atau LDR.  tapi masalah satu sama lain bisa jaga komitmen atau tidak.

Umi pun tertawa.  "Bisa lah, Bun.  Nyatanya ayahnya Mia melakukannya."

"Iya, sih.  maksudku, kupikir dulu dengan jarak makin dekat, datangnya ayahnya Mia lebih sering, selingkuh itu bisa diminimalisir," jawabku.

Miris, mengingat posisiku sama dengan dia, meski masalah selingkuh itu belum bisa kubuktikan terhadap ayahnya anak-anak, tetapi mendengar cerita Umi, jujur, aku jadi berpikir ke sana.

"Itu dia, padahal waktu di Makasar, teman-teman kerjanya cerita, dia tidak kedapatan selingkuh," ucapnya.

"Makanya, kenapa di Sragen dia jadi bisa selingkuh?"

Umi menghela napas.  Diam sejenak, mungkin berat untuk menceritakan.  Tetapi juga beban yang berat membuatnya ingin sharing.

"Di Sragen, teman-teman kantornya sering mengajaknya ke sebuah Cafe, dan di sana dia kenal seorang perempuan," dia mengawali ceritanya.

Aku menghela napas.  "Pegawai Cafe itu, perempuan itu?"

Umi menganggukkan kepala.  "Dan teman itu perempuan yang memberi tahuku.  Ternyata perempuan itu sudah stalking aku FBku sejak dari setahun yang lalu."

Wow, desisku dalam hati.  Perempuan yang gigih, sampai mengikuti FB istri laki-laki yang dia sukai.  Power of Love? atau perempuan gatel perusak rumah tangga orang?

"Dia tahu semua kegiatanku dan ayahnya Mia dari FBku.  Temannya itu yang cerita."

"Temannya itu perempuan?"

Umi mengangguk.

"Dan kamu percaya?"

Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku.  Umi kemudian menguta-atik smartphonenya, kemudian menyerahkannya kepadaku.

"Coba lihat foto-foto ini, geser-geser aja layarnya," katanya sambil mengangsurkan telepon pintarnya itu kepadaku.

Kuturuti perkataannya.  Dan WOW, aku melihat foto suami Umi dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal.  berpose lumayan mesra dengan berbagai gaya.

Oke, foto-foto ini menunjukkan ada "sesuatu" antara suaminya Umi dan perempuan tersebut.  Tetapi bukankah foto bisa menipu pandangan kita?

Beberapa fotoku dengan pose seru-seruan dengan beberapa teman pria pernah digugat ayahnya anak-anak, meski dia kenal dengan semua laki-laki yang ada di foto itu.  Padahal itu pose biasa dengan banyak orang juga, sudah dianggap nyleneh olehnya, apalagi foto yang hanya berdua dengan pose yang semua orang pasti menyangka kedua obyek foto ini sedang dimabuk cinta.

"Umi sudah menyelidiki?"

"Maksudnya, tanya ke ayahnya Mia?  Mana mau dia ngaku"

"Yaaa nggak begitu juga sih!  Tanya ke teman-temannya di Sragen, atau minta tolong saudara atau kenalan buat menyelidiki ke Sragen atau ke tempat lain dimana kemungkinan suamimu dan perempuan ini selingkuh," jawabku panjang lebar.

"Sudah, aku pernah minta tolong iparku yang di Solo untuk datang ke Sragen, menyelidikinya," jawabnya.

"Hasilnya?"

"Positif, seperti yang diceritakan teman itu perempuan."

Ya Rabb, ini benar-benar membuat saya pusing kepala.

Sedikit flashback, Umi dan suaminya tidak mengalami masa pacaran, mereka bertemu dan langsung menikah melalui sebuah usaha perjodohan.  Mereka berdua adalah keluarga dalam satu jamaah,  ayah mertua Umi kepincut sama Umi dan berupaya memperkenalkan anaknya kepada Umi.  Dan ketika dipertemukan keduanya merasa cocok dan saling suka, beberapa bulan kemudian mereka menikah.

Sebuah jalur pernikahan yang Islami, jauh dari fitnah dan Lillahi ta'ala.  Nyatanya?  Memang sebuah perkawinan susah diprediksi, meskipun si lelaki berasal dari keluarga pendakwah, belum tentu juga si anak merupakan bibit yang bagus untuk jadi imam bagi sebuah rumah tangga.

Setelah cerita itu, setiap bertemu Umi selalu update perkembangan rumah tangganya.  Memang tidak selalu ada air mata mengenai perselingkuhan suaminya itu.  Sering si suami mesra kepadanya, bahkan pernah Umi dan Mia menghilang sampai dua minggu karena suaminya datang, dan menurutnya itu masa-masa terindah dalam hidupnya.  Mereka mesra kembali.

Kupikir saat itu, dibanding pernikahanku yang sudah hambar, setiap bertemupun ayah anak-anak sudah tidak lagi sudi jalan berdua denganku, pernikahan Umi dan suaminya masih bisa diselamatkan.  Nyatanya, selama dua minggu pulang, hubungan keduanya baik-baik saja bahkan mesra.

"Mungkin kamu harus ke Makasar, dengan begitu masalah WIL ini segera selesai," kataku kepadanya, saat itu suaminya Umi sudha kembali ke tempat kerjanya.

Umi diam cukup lama.  "Aku ragu, nanti kalau aku ke Makasar tetapi kalau dia selingkuh, gimana?"

"Setidaknya kamu coba lah, toh sikapnya ke kamu dan Mia nggak berubah, masih sayang dan mesra," jawabku menguatkan.

Entah bagaimana ceritanya, mendadak sebulan kemudian dia BBM kepadaku, mengabarkan sedang jalan menuju Surabaya, mau terbang ke Makasar.

Menetap di sana? tanyaku di BBM

Enggak tahu, tapi mungkin aku stay lama di sana.  Kalau memang bisa, ya aku dan Mia ikut ayahnya, jawabnya.

Alhamdulillah, semoga semuanya terselesaikan dengan baik, sahutku lagi.

Amin YRA, pungkas Umi.

Kemudian kami jarang berkomunikasi, karena aku mulai sibuk mengurai benang ruwet dalam rumah tanggaku sendiri, sibuk mendampingi Naomi yang mulai concern dengan silatnya, sibuk dengan Nadhira yang mulai menuntut diperhatikan sama dengan kakaknya.  Sibuk dengan hidupku sendiri.

Sesekali memang aku membaca status dia di FB.  kadang status bahagia, kadang status merenung.  Kupikir itu masih dalam tahap yang wajar, karena toh berkumpul kembali butuh penyesuaian.

Sampai kemudian kubaca statusnya di FB tentang perjalanan pulangnya ke Surabaya, ke rumah mertuanya.  Saat itu dia sudah 6 bulan di Makasar.

Kupikir dia pulang bersama suaminya dan Mia karena ingin berpuasa dan berlebaran di Surabaya.  Jadi aku cuma berkomentar, "Semoga lancar ya perjalanannya."

Satu minggu sebelum lebaran, kami saling BBM, dia menanyakan Naomi dna Nadhira, aku menanyakan Mia.  Smpai kemudian kuceritakan tentang peristiwa perpisahan antara aku dan ayahnya anak-anak.

Bun, kog ya pas, kamu padahal berencana mau pindah dekat dengan ayahnya anak-anak ya, katanya.

Kita berusaha, Um, Allah yang menentukan, jawabku berusaha tenang.

Kami pun berbincang mengenai rencanaku selanjutnya bersama anak-anak tanpa ada ayahnya lagi masuk daftar.

Aku kangen Bun sama Naomi dan Nadhira, ucapnya.

Aduh kan lagi sama ayahnya Mia, lagi happy, godaku.

Apane?  Dia masih kumat makanya kutinggal pulang, jawabnya kemudian.

Masih sama perempuan itu? tanyaku kaget.

Iya

Lho, bukannya kamu sedang hamil? Kupikir rumah tangga kalian terselamatkan, aku jadi penasaran sekaligus cemas.

Lalu mengalirlah cerita bahwa meskipun suaminya sudah didekati, perempuan itu ternyata masih nekad dan menyusulnya ke Makasar.  Selama 6 bulan Umi berusaha mati-matian supaya suaminya melupakan perempuan itu, salah satunya dengan hamil.  Nyatanya hubungan terlarang itu masih berlanjut.

"Jadi, sekarang apa keputusanmu?" tanyaku lewat telepon, seminggu pasca dia bercerita, saat itu kami sedang saling mengucapkan selamat lebaran.

"Jangan tanya, Bun.  Aku mau kosentrasi sama kehamilanku dulu," jawabnya.

"Suamimu masak nggak senang sama kehamilanmu," sergahku.

"Boro-boro senang, Bun.  Nanyain keadaan anaknya yang besar aja enggak," jawabnya ngenes.

Aku terdiam.

"Seenggak-enggaknya Bun, ayahnya Naomi masih mau berkomunikasi dengan anak-anak, ini ayahanya Mia lho boro-boro telpon anaknya."

Yah, untuk itu aku bersyukur, setidaknya dampat perceraikanku dan ayahnya anak-anak lumayan mudah karena komunikasi ayahnya dan anak-anak masih seperti yang dulu.

"Yang sabar, ya.  Jangan bersedih, Allah bersama orang-orang yang sabar," kataku pada akhirnya.

Jelas aku tergugu.  Umi benar-benar merasakan pahitnya rumah tangga justru karena adanya orang ketiga yang menyerangnya secara frontal.  Terang-terangan perempuan itu menampakkan dirinya dan mengajaknya perang secara terbuka.  Dan ironisnya, suami Umi tidak tegas, seperti berharap ingin memiliki keduanya, Umi dan perempuan itu.

"Kalau seandainya kamu ijinkan suamimu menikahi perempuan itu, gimana?" tanyaku, mencoba mencari solusi yang paling ekstrim.

Ya mereka dari keluaarga pendakwah, tetapi tidak semua keluarga pendakwah setuju poligami kan?  Apalagi calon madunya, katakanlah perempuan yang bukan dari kalangan terdidik secara agama.

"Coba aja, tak racun keduanya," jawabnya cengengesan.

Intinya, Umi ogah dipoligami, apalagi dengan jalan menyakitkan seperti itu.  Jelas, sayapun ogah punya madu perempuan seperti itu, datang dengan merusak keharmonisan keluarga.

La Tahzan, saudariku.  Nikmati dulu kehamilanmu yang kedua ini.  Aku masih berharap suamimu sadar dan memutuskan untuk kembali kepadamu, kemudian melepaskan perempuan itu.  Ataupun pilihanmu sama dengan pilihanku, setidaknya kamu masih bisa berbahagia bersama anak-anakmu.

La tahzan, saudariku, Allah bersama perempuan yang sabar dan kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar