Me Vs Maya

Me Vs Maya
my novel

emak lebay

emak lebay
curhat emak duoNa

Jurnal Sehat Emak

Jurnal Sehat Emak
Diet Sehat Ala Emak

Rabu, 29 Juli 2015

Kini Aku Hidup Untuk Anakku

Aku mengenalnya saat dia masih hamil 7 bulan.  Perkenalan yang tidak disengaja.  Dia datang ke lingkungan kami dan bertanya jika kami masih punya baju-baju bayi yang masih layak pakai dan bersedia untuk dihibahkan kepadanya.  Dia sedang hamil, ditinggal pergi suami dan hanya hidup dengan ibu dan adiknya.

Kebetulan aku masih ada beberapa baju bayi, popok dan gurita yang masih layak pakai yang bisa kuberikan kepadanya.  Waktu kutawarkan kepadanya, dia bersemangat sekali untuk menerimanya.

Yang tidak kuketahui, ternyata rumahnya jauh sekali, bisa dibilang akses jalan menuju rumahnya terbatas dan agak repot ketika mengirim barang.  Kurir sampai 3x salah jalan meski sudah menginformasikan lokasinya.  Sampai akhirnya Riri, nama perempuan muda itu, dan si kurir saling bikin janji dan bertemu di lokasi yang sudah disepakati.

Setelah itu, sesungguhnya aku jarang mendengar kabarnya, kecuali dari status-status yang dia update di Facebooknya.  Kadang aku ikut berkomentar, kadang hanya memberi icon like atau tidak mengomentari sama sekali.  Tetapi overall, dari semua statusnya, aku tahu, dia masih harus berjuang untuk hidupnya dan hidup Fitra, anaknya semata wayang itu,

Pernah memang aku ngobrol dengannya saat janjian memberikan sedikit pakaian bayi itu.  Karena jujur, saya baru pertama kali berkenalan dengan perempuan hamil tetapi sudah ditinggal pergi suaminya.

Naif?  Ya.  Selama ini saya tahu bahwa laki-laki itu sangat bangga saat tahu istrinya hamil, apalagi ini kehamilan pertama, biasanya laki-laki akan memperlakukan istrinya dengan sangat istimewa.  Sebisa mungkin diperlakukan seperti seorang princess.  Ayahnya anak-anak begitu.  Saat saya hamil Naomi, jangan dikatakan betapa concernnya dia kepada kehamilan pertama saya itu.  Saya mau minta apa, diturutin.  Saya ngambek, mana berani dia marah.  Bahkan saya kepengen nasi padang jam 12 malam juga dicarikan sama dia.

Tetapi aku melihat keadaan Riri tidak demikian.

"Sorry Mbak Riri, memang suaminya kemana?" tanyaku, saat mendengar cerita bahwa dia sama sekali belum mempersiapkan apapun untuk kelahiran bayinya nanti, padahal usia kandungan sudah masuk 7 bulan.

"Sudah pisah, Nda," jawabnya sambil memberikan emoticon senyum.

"Lho, kog tega?  Mbak lagi hamil sudah ditinggal," ujarku heran.

"Iya, Nda," jawabnya.

Aku tidak berani bertanya, mengapa dia ditinggal begitu saja.  Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata.  Ada ya, lelaki yang tega meninggalkan istrinya ditengah istrinya sedang hamil tua begitu?  Dia lupa ya, ibunya pernah hamil dan dan bersusah payah saat hamil dan melahirkan dirinya?  Tidak bisakah dia lihat perjuangan Riri yang sama dengan perjuangan ibunya dahulu?

Kalaupun ribut atau silang pendapat, keributan sebesar apa sih yang membuat laki-laki itu tega dan kejam meninggalkan istri yang hamil besar seperti itu?

Kemudian sering kulihat dia bercerita tentang kehamilannya.  Jujur, saya salut membacanya.  Dia begitu menyayangi calon anaknya, bertekad melahirkan dan membesarkan anaknya dengan baik, juga sudah berencana untuk memberi ASI eksklusive juga MPASI home made.

Itu luar biasa menurutku.  Usianya baru 18 tahun saat itu, tetapi dia tegar sekaligus haus akan informasi yang up to date, tidak terjebak akan mitos orang-orang tua dahulu dan berpikiran modern.  Buat saya saat itu, dia punya modal istimewa untuk jadi ibu yang hebat bagi anaknya kelak.

Kadang saya pun membaca statusnya, bahwa suaminya itu sesekali datang, mengganggu hidupnya, tanpa sedikitpun melihat kehamilan dirinya.  Atau di hari lain, laki-laki itu datang meneror dirinya, intinya, si suami mau membantu biaya kelahiran anak itu, tetapi Riri harus menyerahkan bayinya kelak kepada laki-laki itu dan keluarganya.

Jelas aku meradang membacanya.  Halo?! Hei lelaki, tak punya perasaan, Riri susah payah hamil selama 9 bulan lebih, kamu tinggalkan begitu saja dan kemudian kamu mau membiayai persalinannya dengan imbalan sekejam itu?  Buta ya mata hatimu?  Enak saja mau main memisahkan bayi dengan ibunya tanpa kamu sendiri berniat untuk menyayangi ibunya!

Tetapi apa dayaku?  Lokasi kami berjauhan.  Sungguh, kalau dekat, aku ingin membawanya, melindungi dia dan bayinya, menjauhkan mereka dari laki-laki yang punya otak kerdil itu.  Lelaki itu bahkan tidak layak disebut sebagai ayah.

Riri tidak curhat semata tentang kesedihan dan air matanya selama hamil.  Dia juga bercerita tentang keinginannya untuk bisa mandiri, tidak menyusahkan ibunya, dan bisa menopang hidupnya dan anaknya kelak.

Dia mau bekerja di sebuah warnet di kotanya meski sedang hamil.  Dia bahkan berani berjualan makanan kecil-kecilan dan menerima pesanan makanan dari tetangganya.  Bahkan dia mau jualan secara dropship dari teman-teman yang memang amanah.  Dan dia bisa bertanggung jawab akan hal itu.

"Nggak apa-apa, Bun.  Untung sedikit-sedikit, Alhamdulillah bisa untuk menyambung hidup dan tidak terlalu menyusahkan orang tua," katanya padaku ketika kubertanya tentang kesibukannya itu.

Ketika kemudian dia melahirkan, dia pun masih didera cobaan yang luar biasa.  Fitra, anaknya, ternyata tubuhnya kuning setelah beberapa hari lahir.  Tetapi dia pantang menyerah, sambil terus bertanya pengobatan yang tidak terlalu memakan biaya, Riri tetap bersemangat dan yakin anaknya akan sehat.  Semua saran dari teman-teman yang paham tentang kondisi bayi kuning tersebut dia ikuti, sampai akhirnya menyerah, membawa Fitra ke rumah sakit karena memang kadar bilirubin Fitra lebih dari batas normal sehingga harus dirawat dan disinar di rumah sakit.

Jelas ini merepotkan Riri, karena selain dia harus begadang menunggui Fitra di rumah sakit, dia juga harus pontang panting memikirkan biaya rumah sakit Fitra.  Dia juga harus tetap menjaga kondisinya, supaya asupan ASI untuk Fitra tidak  terganggu, karena ASi juga bisa membantu kadar bilirubin bayinya menjadi normal.

Saya yang membaca semua statusnya jadi begitu terpukul.  Pada kedua putri saya, tidak mengalami kejadian luar biasa di awal-awal mereka hidup.  ya Naomi sempat tinggi juga kadar bilirubinnya, tapi itu saya masih di rumah sakit juga untuk pemulihan pasca Saecar, dan saya masih bisa memberikan ASI kepadanya, dan setelah itu bilirubin Naomi normal kembali.  Dan saya disupport oleh orang tua dan mertua saya juga ayahnya Naomi.  Jadi kendala itu tidak terlalu membuat saya repot.

Bagaimana dengan Riri?  Jelas dia berjuang seorang diri.  Ya memang dia masih punya ibu. Tetapi ibunya masih harus direpotkan oleh adik Riri yang masih kecil, jelas dia tidak tega meminta ibunya menunggui di rumah sakit.  Laki-laki yang bisa disebut sebagaia mantan suaminya?  Entahlah, yang jelas saat kubaca status-statusnya, laki-laki itu seperti menghilang di telan bumi saat Fitra lahir dan kemudian harus mengalami hal itu.

Setelah Fitra stabil, masih kulihat Riri tetap bersemangat, terus memberi ASI kepada Fitra dan juga berjualan.  Sesekali memang laki-laki itu datang, pada akhirnya, sekedar memberi sedikit uang untuk membantu kehidupannya dan Fitra, tetapi belum ada tanda-tanda kalau keduanya akan rujuk.

Sampai satu tahun berselang, Fitra sudah besar dan Riri sudah bisa berjuang sendiri.  Laki-laki itu hadir lagi, dan kali ini dengan baik-baik, sehingga wacana rujuk itu hadir.

Saya senang melihatnya dan turut mendoakan semoga kehidupan keluarga ini berakhir baik.  Di tengah saya sendiri sedang berjuang mempertahankan rumah tangga saya, rasanya senang ada pasangan yang memutuskan untuk rujuk dan hidup bahagia.

Sayang, itu tidak berlangsung lama.  Riri bercerita kalau dia sering disakiti oleh iparnya dan suaminya sama sekali tidak membelanya.  Permintaan Riri untuk mereka pindah dari rumah orang tua si lelaki pun tidak dituruti oleh si suami itu, mertuanya pun seperti tidak berdaya akan keadaan Riri di rumah itu.  Sampai akhirnya ada kekerasan fisik yang dialami dia.

Bukan, itu tidak dilakukan oleh laki-laki yang konon merupakan suami Riri, tetapi dilakukan oleh iparnya itu.  Tetapi oranga yang katanya suami Riri malah tidak bisa membela Riri.  Jadi apa arti laki-laki itu sebagai kepala keluarga?

Riri pun kali ini memutuskan, untuk terakhir kalinya memberi kesempatan kepada laki-laki itu.  Sudah selesai, perempuan muda itu memilih untuk benar-benar berpisah dari laki-laki yang tidak bisa melindungi dia dan anaknya di rumah itu.

"Cukup sudah harga diriku dan harga diri Fitra diinjak-injak, selesai," katanya bercerita kepadaku.

Aku hanya bisa memberinya semangat.  "Kamu bisa Ri, selama ini kamu bisa hidup tanpa laki-laki itu dan keluarganya, sekarang pun dan besok, kamu pasti bisa," kataku.

La Tahzan, Ri.  Allah pasti bersamamu.  Yakinlah itu.  Selama ini kamu kuat tanpa laki-laki itu.  Bisa membesarkan Fitra dengan baik tanpa bantuan dia.  Sekaranag dan besokpun, kammu pasti bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar