Me Vs Maya

Me Vs Maya
my novel

emak lebay

emak lebay
curhat emak duoNa

Jurnal Sehat Emak

Jurnal Sehat Emak
Diet Sehat Ala Emak

Kamis, 30 Juli 2015

Kuberanikan Diri Untuk Melangkah

Dia bernama Linda, usianya satu tahun di bawah saya, dan tinggal di negeri tetangga bersama lima anaknya.  Sudah sepuluh tahun dia bercerai dari suaminya yang warga negara sana, dia sendiri bertahan di negeri itu dengan status warga negara asing demi anak-anaknya.

"Anak-anakku di sini terjamin, minimal pendidikan dan kesehatannya, karena mereka warga negara sini, say," Kata Linda mengawali ceritanya, ketika kubertanya, kenapa dia tidak kembali ke Indonesia dan memulai hidup di negeri kami ini.

Dua dari lima anaknya adalah ABK (Anak berkebutuhan Khusus).  yang laki-laki, Ahmad, dengan dyslexia, ADHD, juga autis.  Yang Zahra juga ADHD dan juga PICA.

"Di sini, ABK macam Ahmad dan Zahra dapat banyak kemudahan, say.  Jadi membantu banget buat aku dalam mengasuh mereka," ceritanya lagi.

Aku trenyuh mendengarnya.  Mengasuh lima anak, dua diantaranya ABK, dua lagi sudah pra remaja, dan yang bungsu masih balita yang tentu perlu perhatian maksimal, dan dia tetap bisa segar bugar.  Hebat ya?

"Saya dan abahnya anak-anak beda lima belas tahun.  Dibayanganku saat itu, dia pasti bisa ngemong dan melindungi aku.  Bisa jadi guru dan imam yang baik buat aku yang lebih banyak bersikap hedonis ketimbang mendekatkan diri sama Allaah," katanya kemudian.

"Itu kenapa, meski baru berkenalan dua hari, kamu mau saja dilamar olehnya?" tanyaku mengorek lebih dalam.

Aku saja yang baru delapan bulan kenal dan langsung menikah dengan ayahnya anak-anak, orang-orang suka takjub dan nggak yakin, apalagi Linda ya?  Dua hari berkenalan dan langsung mau menikah dengan laki-laki dari negara lain, dan belum kenal sama sekali dengan latara belakangnya.

"Nekad," cetusku.

"Bisa dibilang, dia tiketku untuk keluar dari masalahku yang lain," sergahnya, kemudian tertawa seraya matanya menerawang jauh.  Mungkin mengingat kembali awal dia bertemu dengan mantan suaminya.

"Lalu kenapa bercerai?" tanyaku penasaran. 

"Biasa, KDRT," jawabnya singkat.

"Seberapa sering?" tanyaku, untuk menutupi rasa kagetku.

"Setiap waktu kapan dia bisa dan ada alasan dari sikapku untuk dia menghajarku," suaranya terbata-bata, mungkin mengingat persitiwa sepuluh tahun yang lalu.

"Lah, bisa hampir setiap hari dong?" kali ini aku tidak dapat menutupi keterkejutanku.

Linda tertawa tanpa suara.  Diminumnya cofe latte pesanan dia, aku sendiri cuma mengaduk2 cappucino pesananku tadi.

Saat ini kami berdua sedang di sebuah kafe penyedia kopi terenak di negeri ini, Aku sedang transit menuju Seoul, ke tempat kerjaku yang baru.  Kusempatkan janjian dengan Linda terlebih dahulu, setelah sekian tahun kami hanya ngobrol via FB, BBM ataupun WA.

"Bukan hampir setiap hari, dalam sehari bisa sampai 3x dia menghajarku karena alasan-alasan sepele," katanya pada akhirnya.

"Hah?  Masalah apa saja?"

"Aku terlambat meletakkan nasi di meja makan, dia bisa ngamuk.  Aku salah melipat selimutnya, dihajar juga.  Waktu Ahmad diketahui autis, dia langsung keluar dari rumah.  Kembali bukannya tenang, aku dihajarnya karena dianggap bawa sial," kata Linda, merinci setiap adegan berbahaya yang ada di rumahnya.

Aku menghela napas.

Teringat ayahnya anak-anak.  Dia memang tidak pernah marah kalau aku terlambat menyajikan makan siang, misalnya.  Yang dilakukan ayahnya anak-anak adalah pergi dan kemudian mengabaikanku.

Mana yang lebih baik?  Tidak ada menurutku.  Tetap saja, bukan seperti itu memperlakukan perempuan, seharusnya.

"Sejak kapan kamu tahu dia suka KDRT?"

"Sejak awal menikah," jawabnya pelan.

"What?" teriakku kaget.

Seisi kafe menoleh kepada kami, akupun bergegas meminta maaf ke semua pengunjung dengan menganggukkan kepala berkali-kali kepada mereka sambil merapatkan kedua telapak tangan di dadaku, meminta maaf dengan isyarat.

"Memang saat itu kamu diapain?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Aku ditampar keras karena dianggap teledor sehingga acces card hotel ketinggalan di mobil, padahal saat itu kami sudah di depan kamar hotel," jawabnya.

"Begitu saja sudah ditampar keras?" tanyaku tak percaya.

Linda mengangguk tanpa suara.

"Sejak saat itu, aku takut, ragu-ragu untuk meneruskan pernikahan itu.  Juga aku malu, masak baru sehari menikah sudah minta cerai," ceritanya lagi, melanjutkan yang lalu.

"Kamu berharap itu cuma khilaf?" tanyaku menyelidiki.

"Terus terang, Ya."

Aku menghela napas.  Khas perempuan, berharap besok baik-baik saja meskipun hari ini sudah dihajar oleh suaminya.

Termasuk diriku.

"Kapan kamu menyadari bahwa suamimu seorang maniak dan tidak bisa lagi ditolerir?" tanyaku lagi.

"Sejak kami tahu Ahmad ABK," jawabnya.

"Dia tidak terima dengan keadaan itu, Ahmad hampir dibantingnya.  Aku jelas tidak terima.  Sejak saat itu aku menyusun kekuatan, diam-diam bikin strategi untuk bisa kabur dan sembunyi dari dia," lanjutnya dengan pandangan menerawang.

Kemudian Linda tersenyum kepadaku.

"Itu kenapa aku bilang, I heart you banget saat kamu bilang sedang proses cerai dengan suamimu itu.  rasanya memang luar biasa, tetapi yakin lah, kalau kamu yakin lebih baik begini, Allah tidak akan meninggalkanmu," katanya memberiku kekuatan.

Aku termangu, mengingat semua apa yang terjadi pada diriku, dan apa yang sudah Linda ceritakan kepadaku.

Aku tahu, cerita Linda masih panjang.  Dia harus berjuang di negeri ini dengan mengasuh kelima anaknya tanpa bantuan biaya sedikitpun dari mantan suaminya.  Belum lagi dia harus tetap berdiri untuk jadi benteng bagi kedua anaknya yang ABK.

Bagiku Linda luar biasa.  Tak cukup kalau aku hanya mengatakan La tahzan, sista, Allah bersama kita.  Karena dia tentu justru sudah bisa berdiri dan bangkit lagi.

Linda tidak perlu dikuatkan karena sudah sepuluh tahun dia menjalaninya dan semua baik-baik saja untuk hidupnya dan hidup anak-anaknya.

Mungkin justru cerita Linda menginspirasiku untuk bisa melalui semua proses perceraianku dengan baik.




Rabu, 29 Juli 2015

Kini Aku Hidup Untuk Anakku

Aku mengenalnya saat dia masih hamil 7 bulan.  Perkenalan yang tidak disengaja.  Dia datang ke lingkungan kami dan bertanya jika kami masih punya baju-baju bayi yang masih layak pakai dan bersedia untuk dihibahkan kepadanya.  Dia sedang hamil, ditinggal pergi suami dan hanya hidup dengan ibu dan adiknya.

Kebetulan aku masih ada beberapa baju bayi, popok dan gurita yang masih layak pakai yang bisa kuberikan kepadanya.  Waktu kutawarkan kepadanya, dia bersemangat sekali untuk menerimanya.

Yang tidak kuketahui, ternyata rumahnya jauh sekali, bisa dibilang akses jalan menuju rumahnya terbatas dan agak repot ketika mengirim barang.  Kurir sampai 3x salah jalan meski sudah menginformasikan lokasinya.  Sampai akhirnya Riri, nama perempuan muda itu, dan si kurir saling bikin janji dan bertemu di lokasi yang sudah disepakati.

Setelah itu, sesungguhnya aku jarang mendengar kabarnya, kecuali dari status-status yang dia update di Facebooknya.  Kadang aku ikut berkomentar, kadang hanya memberi icon like atau tidak mengomentari sama sekali.  Tetapi overall, dari semua statusnya, aku tahu, dia masih harus berjuang untuk hidupnya dan hidup Fitra, anaknya semata wayang itu,

Pernah memang aku ngobrol dengannya saat janjian memberikan sedikit pakaian bayi itu.  Karena jujur, saya baru pertama kali berkenalan dengan perempuan hamil tetapi sudah ditinggal pergi suaminya.

Naif?  Ya.  Selama ini saya tahu bahwa laki-laki itu sangat bangga saat tahu istrinya hamil, apalagi ini kehamilan pertama, biasanya laki-laki akan memperlakukan istrinya dengan sangat istimewa.  Sebisa mungkin diperlakukan seperti seorang princess.  Ayahnya anak-anak begitu.  Saat saya hamil Naomi, jangan dikatakan betapa concernnya dia kepada kehamilan pertama saya itu.  Saya mau minta apa, diturutin.  Saya ngambek, mana berani dia marah.  Bahkan saya kepengen nasi padang jam 12 malam juga dicarikan sama dia.

Tetapi aku melihat keadaan Riri tidak demikian.

"Sorry Mbak Riri, memang suaminya kemana?" tanyaku, saat mendengar cerita bahwa dia sama sekali belum mempersiapkan apapun untuk kelahiran bayinya nanti, padahal usia kandungan sudah masuk 7 bulan.

"Sudah pisah, Nda," jawabnya sambil memberikan emoticon senyum.

"Lho, kog tega?  Mbak lagi hamil sudah ditinggal," ujarku heran.

"Iya, Nda," jawabnya.

Aku tidak berani bertanya, mengapa dia ditinggal begitu saja.  Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata.  Ada ya, lelaki yang tega meninggalkan istrinya ditengah istrinya sedang hamil tua begitu?  Dia lupa ya, ibunya pernah hamil dan dan bersusah payah saat hamil dan melahirkan dirinya?  Tidak bisakah dia lihat perjuangan Riri yang sama dengan perjuangan ibunya dahulu?

Kalaupun ribut atau silang pendapat, keributan sebesar apa sih yang membuat laki-laki itu tega dan kejam meninggalkan istri yang hamil besar seperti itu?

Kemudian sering kulihat dia bercerita tentang kehamilannya.  Jujur, saya salut membacanya.  Dia begitu menyayangi calon anaknya, bertekad melahirkan dan membesarkan anaknya dengan baik, juga sudah berencana untuk memberi ASI eksklusive juga MPASI home made.

Itu luar biasa menurutku.  Usianya baru 18 tahun saat itu, tetapi dia tegar sekaligus haus akan informasi yang up to date, tidak terjebak akan mitos orang-orang tua dahulu dan berpikiran modern.  Buat saya saat itu, dia punya modal istimewa untuk jadi ibu yang hebat bagi anaknya kelak.

Kadang saya pun membaca statusnya, bahwa suaminya itu sesekali datang, mengganggu hidupnya, tanpa sedikitpun melihat kehamilan dirinya.  Atau di hari lain, laki-laki itu datang meneror dirinya, intinya, si suami mau membantu biaya kelahiran anak itu, tetapi Riri harus menyerahkan bayinya kelak kepada laki-laki itu dan keluarganya.

Jelas aku meradang membacanya.  Halo?! Hei lelaki, tak punya perasaan, Riri susah payah hamil selama 9 bulan lebih, kamu tinggalkan begitu saja dan kemudian kamu mau membiayai persalinannya dengan imbalan sekejam itu?  Buta ya mata hatimu?  Enak saja mau main memisahkan bayi dengan ibunya tanpa kamu sendiri berniat untuk menyayangi ibunya!

Tetapi apa dayaku?  Lokasi kami berjauhan.  Sungguh, kalau dekat, aku ingin membawanya, melindungi dia dan bayinya, menjauhkan mereka dari laki-laki yang punya otak kerdil itu.  Lelaki itu bahkan tidak layak disebut sebagai ayah.

Riri tidak curhat semata tentang kesedihan dan air matanya selama hamil.  Dia juga bercerita tentang keinginannya untuk bisa mandiri, tidak menyusahkan ibunya, dan bisa menopang hidupnya dan anaknya kelak.

Dia mau bekerja di sebuah warnet di kotanya meski sedang hamil.  Dia bahkan berani berjualan makanan kecil-kecilan dan menerima pesanan makanan dari tetangganya.  Bahkan dia mau jualan secara dropship dari teman-teman yang memang amanah.  Dan dia bisa bertanggung jawab akan hal itu.

"Nggak apa-apa, Bun.  Untung sedikit-sedikit, Alhamdulillah bisa untuk menyambung hidup dan tidak terlalu menyusahkan orang tua," katanya padaku ketika kubertanya tentang kesibukannya itu.

Ketika kemudian dia melahirkan, dia pun masih didera cobaan yang luar biasa.  Fitra, anaknya, ternyata tubuhnya kuning setelah beberapa hari lahir.  Tetapi dia pantang menyerah, sambil terus bertanya pengobatan yang tidak terlalu memakan biaya, Riri tetap bersemangat dan yakin anaknya akan sehat.  Semua saran dari teman-teman yang paham tentang kondisi bayi kuning tersebut dia ikuti, sampai akhirnya menyerah, membawa Fitra ke rumah sakit karena memang kadar bilirubin Fitra lebih dari batas normal sehingga harus dirawat dan disinar di rumah sakit.

Jelas ini merepotkan Riri, karena selain dia harus begadang menunggui Fitra di rumah sakit, dia juga harus pontang panting memikirkan biaya rumah sakit Fitra.  Dia juga harus tetap menjaga kondisinya, supaya asupan ASI untuk Fitra tidak  terganggu, karena ASi juga bisa membantu kadar bilirubin bayinya menjadi normal.

Saya yang membaca semua statusnya jadi begitu terpukul.  Pada kedua putri saya, tidak mengalami kejadian luar biasa di awal-awal mereka hidup.  ya Naomi sempat tinggi juga kadar bilirubinnya, tapi itu saya masih di rumah sakit juga untuk pemulihan pasca Saecar, dan saya masih bisa memberikan ASI kepadanya, dan setelah itu bilirubin Naomi normal kembali.  Dan saya disupport oleh orang tua dan mertua saya juga ayahnya Naomi.  Jadi kendala itu tidak terlalu membuat saya repot.

Bagaimana dengan Riri?  Jelas dia berjuang seorang diri.  Ya memang dia masih punya ibu. Tetapi ibunya masih harus direpotkan oleh adik Riri yang masih kecil, jelas dia tidak tega meminta ibunya menunggui di rumah sakit.  Laki-laki yang bisa disebut sebagaia mantan suaminya?  Entahlah, yang jelas saat kubaca status-statusnya, laki-laki itu seperti menghilang di telan bumi saat Fitra lahir dan kemudian harus mengalami hal itu.

Setelah Fitra stabil, masih kulihat Riri tetap bersemangat, terus memberi ASI kepada Fitra dan juga berjualan.  Sesekali memang laki-laki itu datang, pada akhirnya, sekedar memberi sedikit uang untuk membantu kehidupannya dan Fitra, tetapi belum ada tanda-tanda kalau keduanya akan rujuk.

Sampai satu tahun berselang, Fitra sudah besar dan Riri sudah bisa berjuang sendiri.  Laki-laki itu hadir lagi, dan kali ini dengan baik-baik, sehingga wacana rujuk itu hadir.

Saya senang melihatnya dan turut mendoakan semoga kehidupan keluarga ini berakhir baik.  Di tengah saya sendiri sedang berjuang mempertahankan rumah tangga saya, rasanya senang ada pasangan yang memutuskan untuk rujuk dan hidup bahagia.

Sayang, itu tidak berlangsung lama.  Riri bercerita kalau dia sering disakiti oleh iparnya dan suaminya sama sekali tidak membelanya.  Permintaan Riri untuk mereka pindah dari rumah orang tua si lelaki pun tidak dituruti oleh si suami itu, mertuanya pun seperti tidak berdaya akan keadaan Riri di rumah itu.  Sampai akhirnya ada kekerasan fisik yang dialami dia.

Bukan, itu tidak dilakukan oleh laki-laki yang konon merupakan suami Riri, tetapi dilakukan oleh iparnya itu.  Tetapi oranga yang katanya suami Riri malah tidak bisa membela Riri.  Jadi apa arti laki-laki itu sebagai kepala keluarga?

Riri pun kali ini memutuskan, untuk terakhir kalinya memberi kesempatan kepada laki-laki itu.  Sudah selesai, perempuan muda itu memilih untuk benar-benar berpisah dari laki-laki yang tidak bisa melindungi dia dan anaknya di rumah itu.

"Cukup sudah harga diriku dan harga diri Fitra diinjak-injak, selesai," katanya bercerita kepadaku.

Aku hanya bisa memberinya semangat.  "Kamu bisa Ri, selama ini kamu bisa hidup tanpa laki-laki itu dan keluarganya, sekarang pun dan besok, kamu pasti bisa," kataku.

La Tahzan, Ri.  Allah pasti bersamamu.  Yakinlah itu.  Selama ini kamu kuat tanpa laki-laki itu.  Bisa membesarkan Fitra dengan baik tanpa bantuan dia.  Sekaranag dan besokpun, kammu pasti bisa.

Selasa, 28 Juli 2015

Orang Ketiga Itu Membuat Suamiku Berubah

Aku dan anak-anak biasa memanggilnya Umi.  Usianya jauh di bawah saya, usia pernikahannya pun baru dalam hitungan jari.  Tetapi cobaan rumah tangganya luar biasa, dia harus menguras energi dan jiwanya untuk menyelamatkan rumah tangganya yang sedang di ujung tanduk.

Kami dekat karena anak-anak kami dekat, jadi anak-anaklah yang membuat kami menjadi sahabat.  Anaknya, Mia, memanggilku Bunda, sedang Naomi dan Nadhira biasa memanggilnya Umi.  Kami saling mengunjungi, bahkan anak-anak terbiasa saling kami titipkan kalau masing-masing dari kami sedang ada kesibukan dan harus meninggalkan mereka agak lama.

Tadinya kami hanya sharing kebahagiaan dan kesenangan, sampai suatu ketika, Umi mungkin merasa bebannya bertambah berat, diapun bercerita kepadaku.  Saat itu anak-anak sedang asyik menonton televisi di kamar Mia.

"Bun, menurutmu susah gak sih LDR?" tanyanya pelan.

Pertanyaannya membuatku tersentak.  Bukan apa-apa, saya pun saat itu sedang LDR dan ada masalah rumah tangga yang belum kushare ke banyak pihak karena masih berharap benang kusut ini segera bisa diselesaikan.

Kemudian aku juga teringat, dia pun sedang LDR dengan suaminya, dengan lokai yang lebih jauh dan jadwal pulang yang tidak tentu.

"Yaaa jujur sih, susah susah gampang.  Terutama masalah komunikasi, suka salah pengertian kalau bicara cuma lewat telepon.  Ada apa, sih?"

"Kamu tahu kan, Bun, aku saat ini LDR."

"Iya, tapi kan suamimu seminggu sekali pulang, lebih dekat lagi."

"Enggak, Bun.  Dia kembali ke Makassar," jawabnya.  Seingatku, suaminya sudah bekerja di kota Sragen yang jarak tempuhnya lebih dekat dari kota kami.

"Oh, lah kog balik jauh lagi?  Walah, kenapa?"

Kemudian mengalirlah cerita, yang lagi-lagi membuatku kaget.

"Di Sragen dia malah selingkuh, Bun," jawabnya pelan.

"Lho?  Kog bisa?"

Yeah I know, itu pertanyaan tolol.  Selingkuh itu bukan masalah tempat dan waktu, bukan masalah saling berdekatan atau LDR.  tapi masalah satu sama lain bisa jaga komitmen atau tidak.

Umi pun tertawa.  "Bisa lah, Bun.  Nyatanya ayahnya Mia melakukannya."

"Iya, sih.  maksudku, kupikir dulu dengan jarak makin dekat, datangnya ayahnya Mia lebih sering, selingkuh itu bisa diminimalisir," jawabku.

Miris, mengingat posisiku sama dengan dia, meski masalah selingkuh itu belum bisa kubuktikan terhadap ayahnya anak-anak, tetapi mendengar cerita Umi, jujur, aku jadi berpikir ke sana.

"Itu dia, padahal waktu di Makasar, teman-teman kerjanya cerita, dia tidak kedapatan selingkuh," ucapnya.

"Makanya, kenapa di Sragen dia jadi bisa selingkuh?"

Umi menghela napas.  Diam sejenak, mungkin berat untuk menceritakan.  Tetapi juga beban yang berat membuatnya ingin sharing.

"Di Sragen, teman-teman kantornya sering mengajaknya ke sebuah Cafe, dan di sana dia kenal seorang perempuan," dia mengawali ceritanya.

Aku menghela napas.  "Pegawai Cafe itu, perempuan itu?"

Umi menganggukkan kepala.  "Dan teman itu perempuan yang memberi tahuku.  Ternyata perempuan itu sudah stalking aku FBku sejak dari setahun yang lalu."

Wow, desisku dalam hati.  Perempuan yang gigih, sampai mengikuti FB istri laki-laki yang dia sukai.  Power of Love? atau perempuan gatel perusak rumah tangga orang?

"Dia tahu semua kegiatanku dan ayahnya Mia dari FBku.  Temannya itu yang cerita."

"Temannya itu perempuan?"

Umi mengangguk.

"Dan kamu percaya?"

Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku.  Umi kemudian menguta-atik smartphonenya, kemudian menyerahkannya kepadaku.

"Coba lihat foto-foto ini, geser-geser aja layarnya," katanya sambil mengangsurkan telepon pintarnya itu kepadaku.

Kuturuti perkataannya.  Dan WOW, aku melihat foto suami Umi dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal.  berpose lumayan mesra dengan berbagai gaya.

Oke, foto-foto ini menunjukkan ada "sesuatu" antara suaminya Umi dan perempuan tersebut.  Tetapi bukankah foto bisa menipu pandangan kita?

Beberapa fotoku dengan pose seru-seruan dengan beberapa teman pria pernah digugat ayahnya anak-anak, meski dia kenal dengan semua laki-laki yang ada di foto itu.  Padahal itu pose biasa dengan banyak orang juga, sudah dianggap nyleneh olehnya, apalagi foto yang hanya berdua dengan pose yang semua orang pasti menyangka kedua obyek foto ini sedang dimabuk cinta.

"Umi sudah menyelidiki?"

"Maksudnya, tanya ke ayahnya Mia?  Mana mau dia ngaku"

"Yaaa nggak begitu juga sih!  Tanya ke teman-temannya di Sragen, atau minta tolong saudara atau kenalan buat menyelidiki ke Sragen atau ke tempat lain dimana kemungkinan suamimu dan perempuan ini selingkuh," jawabku panjang lebar.

"Sudah, aku pernah minta tolong iparku yang di Solo untuk datang ke Sragen, menyelidikinya," jawabnya.

"Hasilnya?"

"Positif, seperti yang diceritakan teman itu perempuan."

Ya Rabb, ini benar-benar membuat saya pusing kepala.

Sedikit flashback, Umi dan suaminya tidak mengalami masa pacaran, mereka bertemu dan langsung menikah melalui sebuah usaha perjodohan.  Mereka berdua adalah keluarga dalam satu jamaah,  ayah mertua Umi kepincut sama Umi dan berupaya memperkenalkan anaknya kepada Umi.  Dan ketika dipertemukan keduanya merasa cocok dan saling suka, beberapa bulan kemudian mereka menikah.

Sebuah jalur pernikahan yang Islami, jauh dari fitnah dan Lillahi ta'ala.  Nyatanya?  Memang sebuah perkawinan susah diprediksi, meskipun si lelaki berasal dari keluarga pendakwah, belum tentu juga si anak merupakan bibit yang bagus untuk jadi imam bagi sebuah rumah tangga.

Setelah cerita itu, setiap bertemu Umi selalu update perkembangan rumah tangganya.  Memang tidak selalu ada air mata mengenai perselingkuhan suaminya itu.  Sering si suami mesra kepadanya, bahkan pernah Umi dan Mia menghilang sampai dua minggu karena suaminya datang, dan menurutnya itu masa-masa terindah dalam hidupnya.  Mereka mesra kembali.

Kupikir saat itu, dibanding pernikahanku yang sudah hambar, setiap bertemupun ayah anak-anak sudah tidak lagi sudi jalan berdua denganku, pernikahan Umi dan suaminya masih bisa diselamatkan.  Nyatanya, selama dua minggu pulang, hubungan keduanya baik-baik saja bahkan mesra.

"Mungkin kamu harus ke Makasar, dengan begitu masalah WIL ini segera selesai," kataku kepadanya, saat itu suaminya Umi sudha kembali ke tempat kerjanya.

Umi diam cukup lama.  "Aku ragu, nanti kalau aku ke Makasar tetapi kalau dia selingkuh, gimana?"

"Setidaknya kamu coba lah, toh sikapnya ke kamu dan Mia nggak berubah, masih sayang dan mesra," jawabku menguatkan.

Entah bagaimana ceritanya, mendadak sebulan kemudian dia BBM kepadaku, mengabarkan sedang jalan menuju Surabaya, mau terbang ke Makasar.

Menetap di sana? tanyaku di BBM

Enggak tahu, tapi mungkin aku stay lama di sana.  Kalau memang bisa, ya aku dan Mia ikut ayahnya, jawabnya.

Alhamdulillah, semoga semuanya terselesaikan dengan baik, sahutku lagi.

Amin YRA, pungkas Umi.

Kemudian kami jarang berkomunikasi, karena aku mulai sibuk mengurai benang ruwet dalam rumah tanggaku sendiri, sibuk mendampingi Naomi yang mulai concern dengan silatnya, sibuk dengan Nadhira yang mulai menuntut diperhatikan sama dengan kakaknya.  Sibuk dengan hidupku sendiri.

Sesekali memang aku membaca status dia di FB.  kadang status bahagia, kadang status merenung.  Kupikir itu masih dalam tahap yang wajar, karena toh berkumpul kembali butuh penyesuaian.

Sampai kemudian kubaca statusnya di FB tentang perjalanan pulangnya ke Surabaya, ke rumah mertuanya.  Saat itu dia sudah 6 bulan di Makasar.

Kupikir dia pulang bersama suaminya dan Mia karena ingin berpuasa dan berlebaran di Surabaya.  Jadi aku cuma berkomentar, "Semoga lancar ya perjalanannya."

Satu minggu sebelum lebaran, kami saling BBM, dia menanyakan Naomi dna Nadhira, aku menanyakan Mia.  Smpai kemudian kuceritakan tentang peristiwa perpisahan antara aku dan ayahnya anak-anak.

Bun, kog ya pas, kamu padahal berencana mau pindah dekat dengan ayahnya anak-anak ya, katanya.

Kita berusaha, Um, Allah yang menentukan, jawabku berusaha tenang.

Kami pun berbincang mengenai rencanaku selanjutnya bersama anak-anak tanpa ada ayahnya lagi masuk daftar.

Aku kangen Bun sama Naomi dan Nadhira, ucapnya.

Aduh kan lagi sama ayahnya Mia, lagi happy, godaku.

Apane?  Dia masih kumat makanya kutinggal pulang, jawabnya kemudian.

Masih sama perempuan itu? tanyaku kaget.

Iya

Lho, bukannya kamu sedang hamil? Kupikir rumah tangga kalian terselamatkan, aku jadi penasaran sekaligus cemas.

Lalu mengalirlah cerita bahwa meskipun suaminya sudah didekati, perempuan itu ternyata masih nekad dan menyusulnya ke Makasar.  Selama 6 bulan Umi berusaha mati-matian supaya suaminya melupakan perempuan itu, salah satunya dengan hamil.  Nyatanya hubungan terlarang itu masih berlanjut.

"Jadi, sekarang apa keputusanmu?" tanyaku lewat telepon, seminggu pasca dia bercerita, saat itu kami sedang saling mengucapkan selamat lebaran.

"Jangan tanya, Bun.  Aku mau kosentrasi sama kehamilanku dulu," jawabnya.

"Suamimu masak nggak senang sama kehamilanmu," sergahku.

"Boro-boro senang, Bun.  Nanyain keadaan anaknya yang besar aja enggak," jawabnya ngenes.

Aku terdiam.

"Seenggak-enggaknya Bun, ayahnya Naomi masih mau berkomunikasi dengan anak-anak, ini ayahanya Mia lho boro-boro telpon anaknya."

Yah, untuk itu aku bersyukur, setidaknya dampat perceraikanku dan ayahnya anak-anak lumayan mudah karena komunikasi ayahnya dan anak-anak masih seperti yang dulu.

"Yang sabar, ya.  Jangan bersedih, Allah bersama orang-orang yang sabar," kataku pada akhirnya.

Jelas aku tergugu.  Umi benar-benar merasakan pahitnya rumah tangga justru karena adanya orang ketiga yang menyerangnya secara frontal.  Terang-terangan perempuan itu menampakkan dirinya dan mengajaknya perang secara terbuka.  Dan ironisnya, suami Umi tidak tegas, seperti berharap ingin memiliki keduanya, Umi dan perempuan itu.

"Kalau seandainya kamu ijinkan suamimu menikahi perempuan itu, gimana?" tanyaku, mencoba mencari solusi yang paling ekstrim.

Ya mereka dari keluaarga pendakwah, tetapi tidak semua keluarga pendakwah setuju poligami kan?  Apalagi calon madunya, katakanlah perempuan yang bukan dari kalangan terdidik secara agama.

"Coba aja, tak racun keduanya," jawabnya cengengesan.

Intinya, Umi ogah dipoligami, apalagi dengan jalan menyakitkan seperti itu.  Jelas, sayapun ogah punya madu perempuan seperti itu, datang dengan merusak keharmonisan keluarga.

La Tahzan, saudariku.  Nikmati dulu kehamilanmu yang kedua ini.  Aku masih berharap suamimu sadar dan memutuskan untuk kembali kepadamu, kemudian melepaskan perempuan itu.  Ataupun pilihanmu sama dengan pilihanku, setidaknya kamu masih bisa berbahagia bersama anak-anakmu.

La tahzan, saudariku, Allah bersama perempuan yang sabar dan kuat.

Senin, 27 Juli 2015

Aku Berharap Dia Mau Berubah

Seorang kawan, yang saya kenal dari Facebook. Awalnya dia order beberapa kue saya, kemudian kami bertemu karena saya harus mengantarkan orderannya. Dari sana kami jadi sering ngobrol dan sedikit banyak mulai tahu kehidupan rumah tangganya, dari cerita-ceritanya.

"Suami saya sering selingkuh," itu awal dia curhat.

Ha? "Dan kamu masih memaafkan?  Sering lho," kataku menanggapi.

Dia tertawa.  "Aku percaya, suatu saat dia sadar dan kembali kepada keluarganya," jawabnya mencoba bijak dan tegar.

Benarkah?

Sudah hampir dua tahun kami berkawan, dan "penyakit" suaminya tidak juga sembuh.  Malah makin menjadi-jadi, selingkuhan suaminya yang sekarang bahkan berani mencaci maki kawan saya ini.  Datang ke workshop kawanku dan menunjukkan kemesraan antara si perempuan itu dengan suami kawanku, di depan karyawan workshop milik kawanku ini.

Jujur, saya geregetan melihatnya.

"Ceraikan saja kenapa sih laki-laki gak penting itu.  Ini workshop lebih banyak kamu yang kelola, bahkan kamu masih kerja ke sana kemari.  Suamimu cuma nongkrong di sini, itu juga cuma lihat-lihat aja, kebanyakan yang kerja juga pegawaimu.  Dia cuma numpang hidup sama kamu, ngapain dipertahankan?  masih selingkuh lagi!" pernah suatu ketika aku bicara seperti itu.

Lagi-lagi dia tersenyum, "Masak kamu tidak yakin dengan kekuatan doa?"

Astagfirullahaladziem.  Jujur, untuk urusan keyakinan, saya jelas kalah jauh dibanding kawanku ini.  Dia lebih rajin ikut pengajian, berkeluh kesah kepada ustadz dan juga ibadahnya lebih khusyuk dibanding saja.  Karenanya saya cuma diam setiap dia bilang tentang "kekuatan doa" untuk "penyakit" suaminya ini.

Saya hanya meringis melihat sikap dia yang masih memberikan sedikit pengertian akan "hobi" suaminya yang aneh ini.

Berapa kali saya memergoki suami "dekat" dengan perempuan lain selain mahramnya dan saya meradang serta minta cerai (meski juga gak dikabulkan juga sama dia)?  Dan baru kali ini saya menemukan perempuan yang mudah memaafkan "penyakit" akut suaminya.

Dia pernah bilang.  "Saya intropeksi diri, kenapa suami saya suka sekali selingkuh."

"Lalu?"

"Saya mencoba mempercantik diri, seperti selingkuhan2nya."

"Saya mencoba patuh, dia minta saya tidak lagi menerima job tour ke luar kota."  Dia pemilik salah satu tour org di kota kami.

"Saya hanya diam di rumah, mengikuti inginnya."

"Lalu?  berhenti petualangannya sebagai don juan?"

Kawan saya tersenyum.  "Beberapa bulan ini dia sudah tidak lagi berhubungan dengan perempuan itu," katanya menyebutkan nama si selingkuhan suaminya.

Tetapi beberapa kemudian, "penyakit" si suami kambuh lagi.  Parahnya, si suami selingkuh dengan perempuan yang bekerja di ruko sebelah workshop mereka.  Maksudnya?  Gila kali ini lelaki?

Bahkan terang-terangan pergi di depan anak-anak mereka.  Buat saya, laki-laki ini sarap, gak patut dimaafkan, lebih baik dibuang ke laut.

Menurut kawan saya.  "Dia ayah anak-anak saya."

Edan, laki-laki apa yang tidak bisa menjaga perasaan anak-anaknya sendiri?  bahkan terang-terangan bawa iblis di hadapan anak-anak mereka?  Masih pantas disebut sebagai ayah oleh anak-anaknya?

Tetapi lagi-lagi kawan saya masih bersabar.

"Kalau saya jadi dia, sudah lama suaminya saya geret ke pengadilan agama, membawa sederet bukti supaya dia langsung menyetujui permintaan cerai saya.  Buat apa sih laki-laki macam itu jadi kepala rumah tangga saya?

Apa fungsinya sebagai pemimpin rumah tangga?

Jadi pencari nafkah utama?  Nyatanya kawan saya yang jungkir balik ngurusin workshop mereka

Jadi pendidik utama anak-anak?  Sholat enggak, ibadah kagak, malah selingkuh di depan anak-anak

Jadi pelindung istri?  Lah nyatanya selingkuh mulu kerjaannya, kalau lagi gak selingkuh dia membabat hutan bareng teman-temannya, off road.

Jadi pelindung anak-anaknya?  Nyatanya dia cuma berhura-hura bahkan selingkuh di depan anaknya.

Bahkan laki-laki itu tak pantas disebut manusia kalau menurut saya.

Tetapi lagi-lagi kawan saya masih bisa bersabar.  Dia hanya menangis dan mengadu kepada Allah AWJ, memperbanyak dzikir, makin giat ikut pengajian dan merengkuh anak-anaknya, supaya mereka tidak membenci ayahnya.

Wahai laki-laki, dengan perempuan seperti ini, masih saja kamu ingin menyakiti?

La Tahzan, kawanku.  Doaku selalu bersamamu, Allah AWJ pasti kasih kamu yang indah untuk kesabaran dan keikhlasanmu.  Lewat kamu pun aku belajar ikhlas

Minggu, 26 Juli 2015

Setelah dua belas tahun

Apa yang kita harapkan setelah lebih dari 10 tahun menikah?

Rumah tangga kita sudah kokoh dan bahagia.  Suami istri saling mengerti dan bahu membahu membesarkan anak-anak.  Idealnya begitu.

Jadi bagaimana kalau idealnya tidak begitu?  Justru di angka 12 tahun pernikahan kami, masing-masing dari kami tersadar bahwa semakin lama masing-masing dari kami merasa asing satu sama lain?  Ketika salah satu pihak mencoba memperbaiki, sedang pihak yang lain sudah lepas tangan, apa yang harus dilakukan oleh sebuah pernikahan?

Salahkah perempuan pada akhirnya bertanya kepada imamnya, "Saya minta ketegasan sikapmu, jadi apa keputusanmu?  Aku sebagai makmunmu, menerima keputusanmu dengan ikhlas, jika itu yang terbaik untuk rumah tangga kita."

Salahkah?

Salahkah ketika seorang perempuan, dengan banyak tuntutan dari imamnya, terutama harus mampu tersenyum meski hatinya luka, mempertanyakan kedudukan dia di hati si suami?

Ketika kemudian laki-laki memilih membuang rasa cintanya yang dulu pernah ada di hatinya kepada perempuan itu, salahkah si perempuan terluka hatinya?

Salahkan jika kemudian harapan dan cinta itu kemudian juga hilang?

Dua belas tahun bersama, setia mendampingi dalam suka dan duka, ketika si suami mengeluh tentang keuangan dan bilang hanya mampu memberi sebagian dari gajinya, si perempuan tak mengeluh.  Dia malah berniat mencari sendiri tambahan, demi menyenangkan hati suaminya, demi membantu suaminya.  tetapi hal itu tidak pernah terlihat di mata suaminya.

Salahkah jika hatinya terluka dan meminta suaminya sedikit lebih memperhatikannya?

Setelah dua belas tahun bersama, istrinya hanya minta dipeluk, dicium, dipuji, apakah itu salah?

Salahkan jika si istri kemudian merasa hatinya gersang dan berlari mencari kegiatan sendiri untuk menyegarkan hatinya?  Toh, dia tidak mendapatkan lagi air kasih sayang dari suaminya?

Salahkah?

Padahal si istri sudah meminta, memohon, dan berusaha membuat suaminya mau melihatnya lagi.

Tetapi kemudian yang didapati dari permohonannya adalah talak.  Salahkah jika perempuan itu menangis dan berbalik membenci laki-laki itu?

Tidak, perempuan tidak boleh membenci ayah dari anak-anaknya

Tidak, perempuan harus tetap tersenyum meski hatinya menangis

Tidak, karena ada kalimat indah yang bisa menguatkan hidupnya

Melihat anak-anak, dia yakin hidupnya akan baik-baik saja tanpa laki-laki itu ada di sisinya lagi

Melihat  banyaknya rencana hidup yang tertunda karena dulu menghormati laki-laki itu sebagai imamnya dulu yang kurang suka dengan rencana-rencana itu, dan kini bisa mulai dilaksanakan, pasti hidup akan semakin mudah untuk dirinya

Melihat banyak teman yang support dia, meski hanya tepukan bahu dan senyum menguatkan, itu membuatnya yakin bahwa dirinya mempunyai arti dalam hidup ini

La Tahzan, tidak perlu bersedih, karena ada Allah yang selalu bersama kita.

Perempuan, jangan bersedih, karena masih ada Allah yang memberi kita kekuatan

Perempuan, Yang harus tersenyum ketika menangis

Mudah2an blog ini bisa terus berjalan

Mau kembali ngeblog, bercerita lagi suara hati di sini, untuk menampung segala isi yang ada di hati dan kepalaku.  Sudah lama mengabaikan suara-suara hati, sehingga rasanya hati ini berlompatan dan penuh prasangka.  Perlu pensieve untuk menampung semua yang ada di kepalaku

Judul blog ini sengaja disebut La tahzan, Perempuan kuat

Kenapa?

Karena saya perempuan

Karena saya sedang bersedih

karena saya butuh kekuatan

Karena saya ingin membagi yang ada di hati dan pikiran saya

Karena banyak teman perempuan saya ternyata mengalami hal yang sama yang kini saya rasakan

Karena saya ingin membagi kata "La Tahzan, Innallaha Ma'ana" yang mempunyai arti
"Janganlah engkau bersedih, Sesungguhnya Allah bersama kita". untuk semua perempuan yang saat ini sedang mengalami hal terberat dalam hidupnya.  Mudah-mudahan sharing di sini nanti bisa membuat kita sama-sama kuat.


Mungkin saya akan menuturkan ulang kisah-kisah sahabat saya, meski tidak mencantumkan nama, bukan untuk berghibah, tetapi untuk mendapatkan ibroh tentang kekuatan hati dan jiwa seorang perempuan.

Mudah-mudahan tulisan di sini membuat hatiku selalu menjadi damai dan nyaman dalam menjalani hidup.

Best regrads

Happy reading

Liza