Me Vs Maya

Me Vs Maya
my novel

emak lebay

emak lebay
curhat emak duoNa

Jurnal Sehat Emak

Jurnal Sehat Emak
Diet Sehat Ala Emak

Kamis, 29 September 2016

Bukan Aku Yang Ingin

sumber gambar: Google


Namanya Sari, aku mengenalnya dari seorang kawan aktifis perempuan di sebuah kota.

Anak yang manis, masih berusia 12 tahun, duduk di bangku kelas 6 SD.  Dia bersekolah di sebuah SD negeri yang cukup jauh dari pusat kota.  Tetapi lingkungan rumahnya bukanlah lingkungan yang terlalu baik untuk anak-anak bertumbuh.  Ada beberapa warung remang-remang yang hadir di sana.

Suatu saat, ketika libur sekolah, Sari mengalami sesuatu yang tidak seharusnya dialami oleh anak-anak seusianya.  Dia dilecehkan, dipaksa melayani nafsu bejat beberapa pemuda sekaligus, di sebuah tempat yang gelap  Bahkan dia diterlantarkan begitu saja di sana.

Sari bingung dan ketakutan, sampai kemudian ada seorang yang lewat yang berbaik hati mengantarkannya ke rumah.

Sampai di rumah, Sari memberanikan diri menceritakan apa yang sudah dia alami kepada orang tuanya.  Mereka bergerak cepat, langsung melaporkan peristiwa itu ke polisi.  Pemuda-pemuda bejat itu langsung ditangkap dan diproses secara hukum.

Sampai di sini?  TIDAK

Beritanya menyebar sampai di social media.  Yang berkembang kemudian bukan lagi hujatan dan tuntutan supaya pelaku segera dihukum, tetapi sudah melebar kepada kehidupan sehari-hari Sari.  Korban pun mulai dipersalahkan.

"Ah dia kan suka mabuk juga, jadi pelayan warung remang-remang kog," komentar pedas Agus, ketika pembahasan social media ini berlangsung.

"Anaknya memang gampangan," ada lagi Udin, yang bicara seperti itu.

"Ah dia kan bukan sekali ini begituan, udah kedua kalinya.  Bukan diperkosa ini sih," komentar menghina lainnya dari Imran.

Dan komentar-komentar lain yang mulai menyudutkanSari.

Sebagai seorang ibu, saya pedih melihat tanggapan miring itu.

Ketika kemudian diajak kawan untuk bertemu dengan Sari, saya pun semakin iba kepada Sari.  Bocah korban perkosaan yang juga korban ketidak adilan ekonomi dan sosial.

Ya, dia mengaku pernah bekerja di warung remang-remang, dan mencoba minuman keras, tapi dia bukan pecandu dan PSK.  Dia hanya ingin mendapatkan uang dengan bekerja di sana.

"Saya nggak sampai ngamar kog, Mbak.  Cuma dipegang-pegang aja di warung," akunya.

Meski begitu, aku terhenyak.  "Kenapa kerja di sana?" tanyaku dengan lidah kelu,

"Karena saya butuh uang, Mbak," jawabnya pelan.

Kulirik ibunya, yang kini menunduk semakin dalam.  Setelah kudorong, si ibu mau bercerita.

"Saya cuma buruh cuci, Mbak.  Penghasilan saya tidak seberapa.  Sedangkan kadang Sari butuh uang untuk sekolah, tetapi saya pas nggak ada uang," tutur si ibu.

Aneh, bukankah ada BOS dan siswa SD negeri tidak dipungut biaya apapun?

"Kan di sekolah ada ketentuan, Mbak.  Kalau melanggar tata tertib sekolah, setiap siswa yang melanggar disuruh bayar seribu.  Kadang saya lupa, Mbak.  Jadi melakukan 2 atau 3 kesalahan, didenda deh."

Jadi sehari minimal dia harus bayar 2000 membayar denda pelanggaran itu?

"Karena itu kamu kerja di sana?" tanyaku kaku

Sari mengangguk, dan aku tergugu.

Aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata.  "Kog nggak lapor ke penilik sekolah?" tanyaku lagi.

Sari dan ibunya serempak menggelengkan kepala mereka.  "Nanti aku dimarahin terus nggak boleh sekolah lagi, Mbak."

Aku semakin merasakan kaku dalam hatiku.

"Ini peristiwa pertama kali?  Katanya sama si Randu (nama salah satu korban) udah pernah?" tanyaku dengan suara hati-hati.

Ibunya Sari menangis.  "Bukan Mbak, itu bukan dengan Sari.  Dia sama perempuan lain, memperkosa juga.  terus perempuan itu dikasih duit biar nggak nglaporin ke polisi."

Aku terhenyak.  Begitu banyak fitnah yang mengelili Sari.

Inilah kenyataan hidup yang harus dialami oleh banyak anak di luar sana, yang mungkin jauh dari jangkauan lingkungan kita yang nyaman.

Seorang anak, yang harus mengikuti aturan sekolah, kemudian harus memenuhi aturan itu dengan cara mencari jalan pintas karena kasihan kepada orang tuanya.  Karena dicap gampangan, maka orang banyak berhak memvonis dia sebagai "korban yang layak"

Dimanakah hati nurani?